Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Fenomena “Main Hakim Sendiri” dan Ancaman Pidana Bagi Pelaku Penganiayaan

Awambicara.id - Dewasa ini, main hakim sendiri adalah fenomena yang sering kita temui di dalam masyarakat kita.

Dimana pusat-pusat keramaian seperti pasar, terminal, dan ditempat-tempat keramaian lainnya, kita menyaksikan sekelompok orang atau masyarakat melakukan aksi main hakim sendiri.

ancaman pidana bagi pelaku penganaiyaan

Acapkali kita mendengar adanya berita seorang pencopet, pencuri, penjambret atau perampok, luka-luka karena dihakimi massa, dan tragisnya tidak sedikit yang kehilangan nyawa akibat amukan massa yang melakukan pengeroyokan.

Sedihnya lagi, aparat keamanan sering tidak dapat melakukan upaya pencegahan ketika aksi main hakim sendiri dilakukan oleh masyarakat.

Alasannya, jika bukan karena kurang personel, juga karena terlambat datang ke tempat kejadian perkara (TKP).

Fenomena Main Hakim Sendiri 


Bicara kasus “main hakim sendiri” terakhir kali hal ini terjadi di Desa Tuik Kec. Kelapa Kab. Bangka Barat Provinsi Kep. Bangka Belitung.

Pelaku yang diduga melakukan tindak pidana pencurian di Desa Tuik Kec. Kelapa Kab. Bangka Barat yakni Agus Saiman (40) asal Tonrrokasi Barat Kecamatan Tamalatea Sulawesi Selatan, selama ini ia tinggal di Desa Beruas Kecamatan Kelapa.

Baca: Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS)/ ASN dalam Pilkada

Pelaku yang pada saat itu sedang membawa ayam hasil curiannya, ketika itu dipergoki warga Desa Tuik.

Kemudian warga beramai-ramai mengejar dan mencari pelaku. Pelaku Agus Saiman pertama kali ditemukan warga dan dibawa ke kantor Desa Tuik, lalu dikeroyok secara bersama-sama.

"Sedangkan pelaku pencurian (komplotan Agus Saiman) lainnya ditangkap keesokan harinya yakni pada Sabtu sore.

Enam ekor ayam yang terdiri dari tiga ekor ayam jantan dan tiga ekor ayam betina, diamankan sebagai barang bukti, kemudian tersangka dan barang bukti dibawa untuk diamankan di Polres Bangka Barat, guna kepentingan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut.

Agus Saiman sendiri tewas "dikeroyok" oleh massa yang merupakan oknum warga Desa Tuik Kec. Kelapa (Koran Bangkapos. edisi 18 Agustus 2013).

Sampai Senin, 19 Agustus 2013, Polisi telah menetapkan 19 orang sebagai Tersangka dalam kasus ini pengroyokan atau main hakim sendiri ini.

Kasus ini mengingatkan kita dengan kasus atau aksi main hakim sendiri di LP Cebongan, dan masih banyak lagi kasus-kasus main hakim sendiri lainnya.

Bicara Istilah "Main Hakim Sendiri" yang disebut juga dengan “Peradilan Massa”, Main hakim terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana disebabkan oleh banyak faktor.

Faktor-faktor tersebut antara lainnya adalah salah satu bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan terhadap keadilan.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, yang mana pada saat ini sedang terjadi suatu kondisi dimana tatanan sistem hukum yang dijalankan oleh pemerintah dalam arti luas tidak lagi dipercaya oleh masyarakat.

Kondisi ini memiliki ciri-ciri dimana hukum tidak lagi dipandang sebagai human institution yang dapat memberikan rasa perlindungan hak-haknya sebagai warga.

Dan kurangnya komunikasi masyarakat dan aparat penegak hukum yang belum tersosialisasikan dengan baik sehingga pada saat membutuhkan pertolongan hukum, masyarakat mengalami kebingungan.

Serta kurangnya “pendidikan/ pengetahuan hukum” terhadap masyarakat.

Semua factor tersebut akhirnya menjadi akumulasi dan membentuk reflek dari masyarakat yang emosinya tidak terkendali, sehingga terjadilah aksi main hakim sendiri oleh masyarakat ini.

Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Sebagai negara hukum tentu saja harus mampu mewujudkan supremasi hukum (Supremacy of law), sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara hukum.

Hal ini telah ditegaskan pula dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Equality Before The Law).

Dari Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut, tersirat pula bahwa penegakan hukum bukan semata-mata tugas dari aparat penegak hukum semata, yakni Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.

Akan tetapi telah menjadi kewajiban serta komitmen seluruh komponen bangsa Indonesia.

Komitmen ini dituntut secara konsisten untuk dapat diimplementasikan, lebih-lebih di saat bangsa Indonesia berupaya bangkit mengatasi krisis multidimensional.

Mengingat peran hukum tidak semata hanya untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, tetapi juga dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional dan hasil-hasilnya.

Maka proses penegakan hukum harus dilaksanakan secara tegas dan konsisten, karena ketidakpastian hukum dan kemerosotan wibawa hukum akan melahirkan krisis hukum.

Krisis hukum ini dampaknya dapat berakibat pada terganggunya stabilitas politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan bangsa dan negara.

Dalam kaitannya dengan masalah penegakan hukum terhadap praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat seperti apa yang sering kita saksikan di media-media, menunjukkan bahwa tindakan tersebut merupakan suatu bentuk kekecewaan terhadap aparat penegak hukum.

Hal ini dikarenakan banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum, serta lemahnya penegakan hukum.

Sehingga menyebabkan tindakan tersebut sering terjadi dan terus berulang di kalangan masyarakat kita.

Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum merupakan faktor yang disebutkan sebagai salah satu penyebab semakin maraknya pengadilan massa.

Aksi anarkisme di luar batas perikemanusiaan itu terjadi karena akumulasi kekecewaan atas kenyataan tidak tuntasnya sejumlah kasus yang mereka tangani.

Masyarakat sudah lelah menantikan penegakan hukum yang bertele-tele dan sekadar menjadi panggung politik.

Bukan hanya untuk kasus-kasus berskala nasional yang melibatkan koruptor milyaran rupiah yang membuat sengsara kehidupan rakyat kecil.

Akan tetapi, juga untuk kasus-kasus kejahatan yang setiap hari terjadi di tengah masyarakat.

Selain polisi, jaksa dan hakim tentu saja berbagai kesulitan yang didera masyarakat juga menjadi pemicunya.

Baca: Apa Fungsi dan Kegunaan dari Meterai dalam Surat atau Dokumen

Dr Hotman M Siahaan, sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menyebutkan, berbagai tindakan main hakim sendiri, mencerminkan bahwa segala sesuatu harus berjalan sesuai institusi dan fungsinya.

Dengan demikian ketika aparat tidak mau menegakkan institusi dan fungsinya, maka akan muncul perlawanan yang didorong oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap keadaan yang serba rancu.

Sehingga "Timbullah gejolak sosial dan anarki," kata Siahaan.

Sejumlah keberhasilan polisi menangkap dan menembak tewas pelaku kejahatan tidaklah dipandang punya cukup arti.
Masyarakat sudah demikian marah menyaksikan betapa aksi-aksi kejahatan di perumahan, didalam kendaraan, dan ditempat-tempat umum lainnya, yang terus terjadi.

Jika bukan dengan menonton televisi, mendengar radio atau membaca berita di media cetak dan media online, kabar korban dari kejahatan itu bahkan datang dari teman atau anggota keluarga terdekat.

Semua warga rasanya tinggal menunggu giliran saja menjadi korban kejahatan.

Emosi masyarakat awam cenderung menjadi frustasi, saat misalnya sebut saja seorang koruptor kelas kakap atau bandar narkoba dikampungnya bisa dengan leluasa bergerak.

Bahkan kalaupun ditangkap aparat kepolisian, dalam hitungan hari mereka sudah bisa keluar lagi.

Lebih-lebih lagi kalau tersangkanya ini diserahkan langsung oleh masyarakat, dan ternyata kembali bebas dalam hitungan hari, pekan, atau bulan.

Bahkan mereka kembali melakukan aksi kejahatannya.

Kecurigaan masyarakat terhadap polisi sudah demikian buruk.

Jangan-jangan polisi menerima imbalan sejumlah uang atau fasilitas untuk membebaskan tersangka.

Istilah "delapan anam/ 86" (sama-sama dimengerti) lalu menjadi istilah populer berkonotasi negatif bagi aparat kepolisian yang bersedia memberikan kebebasan bagi tersangka.

Hotman Siahaan menyarankan kepada para elite politik dan pejabat, untuk mensosialisasikan penyadaran terhadap sesuatu yang layak, pantas, benar, baik, dan yang tidak.

Para elite politik, tokoh partai, dan siapa pun yang ditokohkan oleh masyarakat, hendaknya berani melakukan penyadaran.

Bahwa tindakan anarkis harus dihentikan, untuk kemudian dimunculkan tindakan yang berbudaya dan beradab.

Kalau tidak segera dilakukan penyadaran itu, anarkisme massa akan meluas.

Untuk menghentikan aksi-aksi massa yang primitif itu, kata Pandu, harus ada counter dengan cara pembelajaran kolektif yang lain yang lebih beradab.

Tunjukanlah cara-cara menghukum yang baik terhadap para maling, misalnya.

Jika ada maling dibawa ke polisi, diadili sesuai kesalahannya, dan dihukum sesuai aturan hukum.

Juga harus ada bukti yang berlawanan untuk menunjukkan kepada masyarakat tindakan yang beradab.

Sehingga akan timbul pembelajaran kolektif yang lebih benar.

Masyarakat dididik menyalurkan ketidakpuasan sosialnya dengan cara yang benar yang dapat diterima oleh nurani.

Bagaimana pun istilah "pengadilan rakyat" itu tidak semestinya muncul di sebuah negeri yang telah lama disebutkan sebagai negeri yang "adil dan beradab" ini.

Atau para elite politik dan penegak hukum sedang menunggu giliran?

Kalangan pengamat menilai, tindakan main hakim sendiri disebabkan oleh banyak hal.

Diantaranya adalah perasaan tidak percaya masyarakat terhadap ketegasan aparat dalam menegakan hukum.

Banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum dan sebagainya.

Lemahnya penegakan hukum terlihat dari banyaknya kasus main hakim sendiri.

Aksi main hakim sendiri biasanya terjadi jika sang penjahat tertangkap tangan dilingkungan padat penduduk.

Seperti pusat-pusat perbelanjaan, terminal hingga perkampungan warga yang padat penghuni.

Karena itu memang hanya penjahat yang bernyali besar yang masih nekad menjalankan aksinya.

Mengingat resiko yang harus mereka dihadapi jika tertangkap warga.

Pendapat Dr Hotman M Siahaan, juga senada dengan Kriminolog dari Universitas Indonesia Muhammad Mustofa, yang mengatakan ada 6 faktor mengapa warga melakukan aksi main hakim sendiri.

Dan faktor terbesarnya adalah kekecewaan warga terhadap kinerja aparat penegakan hukum di negara ini.

Polisi menurut Mustofa harus bertindak tegas, terutama dengan menyelidiki dan selanjutnya menindak secara hukum, pihak yang pertama kali memicu aksi kolektif tersebut.

Ancaman Pidana Bagi Pelaku Pengeroyokan/ Penganaiyaan


Menghadapi tindak kekerasan dan main hakim sendiri secara massal ini memang tidak mudah.

Hukum pidana kita tidak cukup dapat mengatur kejahatan yang dilakukan secara massal (tindak pidana kelompok), kecuali Pasal 55 - 56 KUHP yang mengklasifikasikan pelaku kejahatan dalam beberapa golongan:

1. Pelaku;

2. Yang menyuruh melakukan

3. Turut melakukan (Pasal 55 (1) ke-1 KUHP),

4. Penganjur/pembujuk/ penghasut (Pasal 55 (2) KUHP,dan

5. Yang membantu melakukan (Pasal 56 KUHP);

Suatu pekerjaan yang tidak mudah bagi polisi menangkap dan menyidik pelaku kejahatan massa, apalagi polisi cenderung berhati-hati bertindak agar tidak terpeleset dalam tindak pelanggaran ("kejahatan") menurut UU No 39/ 1999 tentang HAM.

Sekalipun demikian polisi tetap dituntut untuk bertindak profesional, sambil menampilkan citra polisi yang simpatik dalam menegakkan hukum.

Bagaimanapun juga polisi adalah garda utama yang berada di barisan paling depan dalam memberantas kejahatan dan memberikan rasa aman kepada masyarakat.

Maka kepercayaan kepada aparat keamanan ini harus dipulihkan.

Terlepas dari apakah korban tersebut dihakimi massa karena dia melakukan suatu tindak pidana, pada prinsipnya, berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pelaku main hakim sendiri dapat dituntut secara pidana.
Dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP, disebutkan bahwa: “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Dalam hal ini, mengingat si korban kehilangan nyawa akibat penganiayaan tersebut, dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP diatur bahwa: “Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Sehingga apabila kita mengacu pada Pasal 351 ayat (3) KUHP yang mengatur lebih spesifik tentang penganiayaan yang menyebabkan matinya korban, jelas disebutkan bahwa pelaku penganiayaan dikenakan ancaman pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun.

Selain itu juga, pelaku main hakim sendiri dapat dituntut secara pidana.

Dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP, disebutkan bahwa "Barang Siapa yang Dimuka umum secara bersama-sama Melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya  5 Tahun  6 Bulan (Lima tahun Enam bulan)"

Dalam hal ini, mengingat si korban kehilangan nyawa/ matinya orang akibat kekerasan tersebut maka berdasarkan Pasal 170 ayat 2 ke-3 KUHP diancam pidana dengan penjara selama-lamanya 12 (dua belas) Tahun.

Sehingga apabila kita mengacu pada Pasal 170 ayat 2 ke-3 KUHP yang mengatur lebih spesifik tentang kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama terhadap orang yang menyebabkan matinya orang, jelas disebutkan bahwa pelaku kekerasan dikenakan ancaman pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun.

KESIMPULAN

Kondisi peradilan di Indonesia dalam penegakan hukum saat ini masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan yang hidup dan tumbuh didalam masyarakat.

Lembaga-Lembaga Aparat Penegak Hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan yang seharusnya menjadi "Tempat Pencari Keadian" untuk mendapatkan keadilan sering tidak mampu memberikan keadilan yang diharapkan.

Akibatnya, rasa hormat dan krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga ini nyaris tidak ada lagi, sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan persoalan hukum ke Aparat Penegak Hukum.

Kekerasan terhadap pelaku kejahatan yang terjadi saat ini menunjukkan kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah dan bukan merupakan suatu budaya hukum masyarakat kita.

Bahwa kesadaran hukum bukanlah budaya hukum, karena budaya hukum yang baik akan melahirkan sebuah proses sosial, yaitu kesadaran hukum.

Semua komponen bangsa ini hendaknya bersama-sama dalam membangun pendidikan hukum, jangan sampai masyrakat tidak mengenal hukum yang berlaku di Negara ini.

Beberapa faktor yang menimbulkan terjadinya tindakan main hakim sendiri (peradilan massa) diantaranya adalah perasaan tidak percaya masyarakat terhadap ketegasan aparat dalam menegakan hukum.

Banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum dan sebagainya.

Lemahnya penegakan hukum terlihat dari banyaknya kasus main hakim sendiri.

Sanksi Pidana terhadap Pelaku Pengeroyokan yang Mengakibatkan Korban Tewas/ Meninggal Dunia yang lebih relevan diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman maksimal 7 Tahun Penjara atau Pasal 170 ayat 2 ke-3 KUHP dengan ancaman maksimal 12 Tahun Penjara

Akhirnya Penulis berpendapat bahwa, dalam kasus-kasus “Main Hakim Sendiri” tersebut kita tidak dapat menyalahkan siapa-siapa.

Siapa yang salah dan siapa yang benar, yang pasti sesuai dengan prinsip hukum kita bahwa, siapa yang berbuat harus bertanggung jawab.

Sesuai dengan yang Penulis uraikan diatas: "Negara Indonesia adalah Negara Hukum dan Semua orang sama dimuka hukum".

Semua yang terjadi adalah menjadi pembelajaran bagi semua lapiran warga masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Desa Tuik Kec. Kelapa Kab. Bangka Barat.

Agar kedepannya tidak lagi terulang peristiwa seperti ini. Peristiwa anarkis dan main hakim sendiri.

TENTANG KAMI : Situs yang didedikasikan sebagai tempat untuk belajar Soal CPNS, Psikotes dan Blogging. Informasi terkini tentang Drakor terbaru, Loker, Lifestyle dan Teknologi. Terus ikuti kami untuk update artikel terbaru, atau ikuti kami di Facebook dan Twitter.


Rizal Firmansyah (Hakim/Jubir PN Muara Bungo)
Rizal Firmansyah (Hakim/Jubir PN Muara Bungo) Seorang Hakim yang pernah bertugas di PN Idi (Aceh Timur), kemudian bertugas di PN Muara Bungo (Jambi)

Posting Komentar untuk "Fenomena “Main Hakim Sendiri” dan Ancaman Pidana Bagi Pelaku Penganiayaan "